Beranda | Artikel
Meruntuhkan Kerancuan Pemahaman
Jumat, 5 Februari 2016

Para ulama menerangkan bahwa sebab terjerumusnya kaum musyrikin dalam syirik adalah beralasan untuk mendekatkan diri kepada Allah atau demi mencari syafa’at. Karena alasan itulah mereka berdoa dan beribadah kepada selain Allah, apakah itu malaikat, nabi, atau wali.

Kedua alasan ini telah diterangkan oleh Allah di dalam al-Qur’an. Allah berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai penolong, mereka berkata, ‘Tidaklah kami beribadah kepada mereka kecuali supaya mereka mendekatkan diri kami kepada Allah’…” (az-Zumar : 3). Ayat ini menunjukkan bahwa mereka beribadah kepada selain Allah dengan alasan agar sesembahan mereka itu bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah.

Adapun alasan mereka karena ingin mendapatkan syafa’at maka itu pun telah diterangkan oleh Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan mereka beribadah kepada selain Allah sesuatu yang jelas tidak mendatangkan mudharat kepada mereka dan tidak pula mendatangkan manfaat. Dan mereka mengatakan, ‘Mereka itu adalah pemberi syafa’at bagi kami di sisi Allah’.” (Yunus : 18)

Jawaban Atas Syubhat Mereka

Jawaban atas kedua alasan di atas adalah :

Pertama, ibadah adalah hak Allah. Tidak boleh menujukan ibadah apa pun kepada selain Allah; siapa pun dia. Allah berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36)

Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan Rabbmu memerintahkan; Janganlah kalian beribadah kecuali kepada Allah, dan kepada kedua orang tua hendaklah kalian berbuat baik.” (al-Israa’ : 23)

Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian berdoa kepada siapa pun bersama dengan Allah.” (al-Jin : 19)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua, menujukan ibadah kepada selain Allah merupakan perbuatan syirik yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, semakin bertambah jauh dari Allah, dan terhalang dari mendapatkan syafa’at. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang pun penolong.” (al-Ma’idah : 72)

Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan masih mengampuni dosa-dosa lain di bawah tingkatan syirik itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (an-Nisaa’ : 48)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan berdoa/beribadah kepada selain Allah maka dia masuk neraka.” (HR. Bukhari)

Keterangan Ulama

Berikut ini keterangan para ulama berkaitan dengan alasan mereka di atas :

Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya orang-orang kafir yang dihalalkan darahnya oleh Allah dan Rasul-Nya, mereka diperangi oleh Rasul ketika mereka beribadah kepada patung, pohon, serta batu-batu. Mereka tidak menyembahnya dengan keyakinan bahwa hal itu bisa mendatangkan manfaat atau mudharat. Bahkan mereka meyakini bahwa yang bisa mendatangkan manfaat dan mudharat adalah Allah ta’ala. Akan tetapi mereka mengatakan bahwa ‘tidaklah kami menujukan keinginan-keinginan kami kepada mereka kecuali dalam rangka mencari kedekatan diri dan syafa’at saja.’.” (lihat Syarh Qawa’id Arba’ Syaikh ar-Rajihi, hal. 10)

Syaikh ar-Rajihi hafizhahullah menegaskan, “Tidaklah dipersyaratkan syirik itu harus disertai dengan keyakinan dari orang itu bahwa pohon dan batu tersebut bisa mendatangkan manfaat dan mudharat. Bahkan meskipun dia meyakini bahwa benda-benda itu tidak bisa mendatangkan manfaat dan mudharat maka berdoa/beribadah kepadanya sebagai tandingan bagi Allah itu adalah kesyirikan.” (lihat Syarh Qawa’id Arba’ Syaikh ar-Rajihi, hal. 11)

Syaikh Muhammad Raslan hafizhahullah berkata, “Maka orang-orang musyrik yang disebut oleh Allah sebagai kaum musyrikin, dan Allah tetapkan mereka kekal di neraka; mereka tidak mempersekutukan Allah dalam hal rububiyah. Sesungguhnya mereka itu berbuat syirik dalam hal uluhiyah. Mereka sama sekali tidak mengatakan bahwa sesembahan mereka adalah sesembahan yang mandiri atau berdiri sendiri. Mereka mengatakan bahwa ‘sesembahan itu semua hanya akan menjadi sarana/perantara bagi kami untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menjadi penghubung antara kami dengan Allah.’…” (lihat Syarh Qawa’id Arba’ oleh Syaikh Raslan, hal. 18)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya (4/256), “Allah ta’ala mengingkari kaum musyrikin yang beribadah kepada sesembahan selain Allah yang mereka mengira bahwa sesembahan-sesembahan itu bisa memberikan manfaat bagi mereka dalam bentuk pemberian syafa’at di sisi Allah. Maka Allah ta’ala mengabarkan bahwa sesembahan-sesembahan itu tidak menguasai manfaat, mudharat, dan tidak menguasai apa-apa, tidak akan terjadi apa yang mereka sangka akan mendapatkannya, dan hal ini selamanya tidak akan terjadi. Oleh sebab itu Allah berkata (yang artinya), “Katakanlah; Apakah kalian hendak memberitakan kepada Allah mengenai sesuatu yang tidak diketahui oleh-Nya, di langit dan di bumi.” (Yunus : 18)”

Yang menyedihkan adalah ternyata alasan semacam ini pula yang dibawakan oleh para penyembah kubur pada masa ini. Mereka beralasan bahwa wali atau orang salih yang mereka puja-puja adalah perantara bagi mereka untuk memberikan syafa’at di sisi Allah. Mereka beralasan karena para wali itu lebih dekat dengan Allah daripada mereka. Mayoritas kaum jahiliyah di masa lalu pun berkeyakinan bahwa sesembahan mereka menjadi perantara bagi mereka di sisi Allah, dan mereka beribadah/berdoa kepadanya dengan alasan untuk memberikan syafa’at bagi mereka di sisi Allah. Ini adalah keyakinan batil karena termasuk kedustaan atas nama Allah dan tidak ada seorang nabi pun yang memerintahkannya. Bahkan apa yang mereka lakukan ini termasuk perbuatan beribadah kepada selain Allah dan kemusyrikan (lihat asy-Syarh al-Mujaz ‘ala al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Raslan, hal. 19-20 dan I’anatul Mustafid oleh Syaikh al-Fauzan, 1/326)


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/meruntuhkan-kerancuan-pemahaman/